Ketua Pokja Rumah Pustaka Pancasila : Kepemimpinan ERAMAS Sumut Bermartabat “Mimpi”, Jika Sampai 2022 Masih Seperti Ini

Headline Pemerintahan

tobapos.co – Gubernur Edy Rahmayadi dan Wagub Musa Rajeksha dinilai “bermimpi” menjadikan Sumut bermartabat. Pasalnya misi Sumut tidak menunjukkan progres signifikan dalam edisi pembangunan wilayah Sumatera Utara. 

“Berjalan 2 (dua) tahun pemerintahan dipimpin oleh Gubernur Edy Ramahyadi dan Wakil Gubernur Ijec Rajek Shah, hingga saat ini belum mencerminkan visi dan misi,” kritik Ketua Pokja Rumah Pustaka Pancasila, Osril Limbong dalam bincang -bincangnya dengan wartawan, Rabu (15/7/2020) saat menyambangi gedung kantor Gubernur Sumut. 

Sebagaimana diketahui, sebut Osril lagi menuturkan, “Hampir 2 tahun kondisi jabatan Plt (Pelaksana Tugas) 9 pejabat eselon II di jajajaran Oraganisasi Perangkat Daerah (OPD) dinilai kurang maksimal untuk progres penyerapan anggaran.”

“Hal ini dilihat pada minimnya serta rendahnya pengambilan keputusan berupa solusi di setiap permasalahan terutama untuk masyarakat,” ujar Osril.

Disisi lain soal penanganan bansos covid -19 juga menunjukkan kurang bermartabat, karena dalam prakteknya pendistribusiannya tidak efektif bahkan diduga bisa di salah gunakan untuk kepentingan Pilkada, seperti bantuan di Simalungun (bermasalah), namun panitia gugus covid-19 Sumut, juga akhirnya resmi maju jadi calon Wakil Bupati Simalungun dari rekom Partai Golkar. (Diteken tanggal 12 Juli 2020)

Ironinya perangkat pejabat yang diplot Edy, kata Osril membeberkan, terkesan adanya pengangkatan jabatan dengan pengkondisian atau pejabat eselon diduga familiar. Atau yang ngetrennya ada emosional kedekatan maupun teman lama dan satu alumni. 

Baca Juga :   202 UMKM Tembus Ekspor, 2023 Nyusul 10 UMKM Lagi: Kehadiran Bobby Nasution Sebagai Walikota Medan Nyata Dirasakan

Seperti dimaksud bukan pejabat yang berpotensi dan ber ilmu sesuai kebutuhan. Padahal masih banyak ASN memiliki sumber daya manusia yang mumpuni, berpengalaman, dan kepemimpinan di tingkat eselon 2, namun tidak diberdayakan.

“Maka jika sampai tahun 2022 masih seperti ini model kepemimpinan mereka, Sumut bukan saja tidak bermartabat, melainkan Sumut salah urus, dan bermimpi Sumut bermartabat,” tandas Osril. 

Sebelumnya kita jangan lupakan koreksi masyarakat dan rakyat lewat legislator setahun lalu bahwa “ERAMAS Pimpin Sumut Berujung Polemik”.

Setahun ERAMAS (Edy Rahmayadi -Musa Rajeksha memimpin Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara berbuat apa?

Ada kalanya, kepemimpinan Gubsu dan Wagubsu hanya mengikuti selera pimpinan OPD Pemprovsu yang notabene kegiatan seremoni dan pelantikan.

Belum ada satupun gebrakan Gubsu dan Wagubsu yang menonjol signifikan terkait visi pembangunan infrastruktur dan pembangunan menuju kesejahteraan masyarakat.

Bahkan stetmennya sering memicu masalah terhadap masyarakat Sumut. Dan masalah yang akhir-akhir ini ungkapan Gubsu soal Wisata Danau Toba Syariah.

“Karena itu apa yang dilakukan Gubsu? Dan mengapa berujung polemik”. Pernyataan ini terungkap dari Fraksi PDIP DPRD Sumut menyebutkan Edy Rahmayadi sebagai seorang ‘trouble maker’, bukan pemimpin yang menyelesaikan masalah alias problem solver. Kesimpulan itu disampaikan FPDIP berdasarkan hasil penilaian satu tahun pemerintahan Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah (ERAMAS), yakni periode September 2018-September 2019.

Baca Juga :   Panen Perdana Padi, Bupati Sergai Soekirman Tinjau Langsung

Penilaian Fraksi PDIP DPRD Sumut yang dihadiri Ruben Tarigan (Wakil Ketua DPRD Sumut), Baskami Ginting (Ketua Fraksi), Sarma Hutajulu dan Sutrisno Pangaribuan (Sekretaris dan Wakil Ketua Fraksi), dan anggota fraksi Dameria Pangaribuan, Yasmujur Gea, Jantoguh Damanik, Siti Aminah Perangin-angin, Brillian Moktar, Herman Sembiring, Horas Rajagukguk, Poaradda Nababan, Wasner Sianturi dan Darmawansyah Sembiring, Senin (9/9/2019), di ruang FPDIP DPRD Sumut, Jalan Imam Bonjol, Medan.

Secara terperinci penilaian tersebut dibagi dalam tiga bagian besar. Pertama, tata kelola pemerintahan, tata kelola keuangan dan isu-isu krusial. Di setiap bagian, diungkapkan titik-titik lemah kepemimpinan Edy yang secara signifikan tidak membuat Sumut bergerak maju.

Secara singkat, kata Sarma, dalam hal tata kelola pemerintahan Edy (Pemprov Sumut) gagal membangun sinergi dengan pemerintah kabupaten/kota. Komunikasi yang dilakukan tidak maksimal dan seringkali kontroversial.

Selain itu, ungkapnya, oleh Edy terjadi disharmoni antara pemerintah sebagai eksekutif dengan DPRD Sumut sebagai legislatif. Salah satunya ditandai dengan pembatalan secara sepihak P-APBD 2018 oleh bekas Pangkostrad tersebut.

“Akibat disharmoni yang dilakukannya itu, berdampak pada pembahasan P-APBD 2019, jangan-jangan ini juga akan batal,” tegas Sarma.

Dalam hal tata kelola keuangan, di antaranya Edy dinyatakan tidak mampu menerapkan manajemen yang baik dalam pengelolaan semua Badan Usaha Milik Daerah. Termasuk Bank Sumut dan PDAM Tirtanadi. Bahkan ada yang mati suri. Setiap tahun seluruh badan usaha itu selalu membutuhkan kucuran penyertaan modal yang bersumber dari APBD. Padahal tidak memberikan pemasukan sebagai pendapatan asli daerah.

Baca Juga :   Sebanyak 4.135 Pemudik Telah Ambil Tiket Mudik Gratis Pemko Medan

Begitu pula menyangkut aset-aset milik Pemprov, sampai saat ini Edy beserta jajarannya belum bisa mengungkapkan di mana keberadaannya. Upaya hukum yang seharusnya dilakukan belum dijalankan.

Tentang isu-isu krusial yang terjadi di Sumut, salah satunya adalah terkait keinginannya meningkatkan status RS Haji ke level internasional. Seperti yang dituangkannya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah 2018-2023. Akan tetapi boro-boro naik level. Dari type B saat ini RS tersebut malah melorot ke type C.

Akibatnya, masyarakat tidak percaya pada kualitas pelayanan kesehatan di RS milik pemerintah. Semakin banyak masyarakat yang berangkat ke luar negeri berobat. Bahkan ketentuan perundang-undangan agar alokasi anggaran di APBD untuk sektor kesehatan sebesar 10 persen tidak terpenuhi.

“Dalam satu tahun kepemimpinannya Edy Rahmayadi banyak bertindak kontroversial, begitu pula dalam pernyataannya di hadapan publik. Dia lebih cenderung menjadi trouble maker (sumber masalah) daripada problem solver (penjawab permasalahan),” tegas Sarma.(MM)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *