tobapos.co: “Hidupku tidak lama lagi,” begitu terdengar tangis Maria Marlina Manurung (45), penderita kanker payudara stadium empat, warga Sempakata, Medan Selayang, Kota Medan. Tangis Maria ibu dua anak putri ini di kediamannya saat dikunjungi rombongan komunitas pemulung, Senin (14/9/2020).
Tidak cuma kanker yang menggerogoti tubuhnya. Ada juga penyakit lainnya, yang diduga disantet. Secara fisik, tampak kedua kaki Maria bengkak seperti melepuh. Sedangkan tangan kanannya mengecil dan tidak bisa digerakkan lagi.
“Seluruh tubuhku ini, seperti ditancapi jarum. Kalau bergeser atau tersentuh sedikit saja, rasanya sakit sekali. Seperti disayat-sayat, diiris-iris pisau,” ungkapnya saat ditemui di Warung Ginsu No 4, Gang Merpati, Jalan Besar Tanjung Selamat, Sunggal, Deli Serdang.
Maria dan keluarganya, baru dua hari pindah dari Sempakata ke Tanjung Selamat, lantaran mereka telah jatuh miskin. Di warung Ginsu ini, mereka mengontrak rumah agar lebih murah. Sebelum jatuh sakit, Maria rajin memulung barang bekas di kawasan Jalan Ayahanda maupun komplek perumahan Tasbih.
Maria telah menggeluti aktivitas memulung sejak 2019. Ia nekat memulung karena tidak mau bergantung pada suaminya Selamat H Ginting Suka (40), karena disebut sama sekali tidak memperhatikan keluarganya sendiri.
“Aku memulung di perumahan Tasbih. Suamiku tak bisa kuandalkan. Dia tidak pernah menafkahi kami. Mau gimana lagi. Perempuan Batak mesti kerja keras,” ujarnya.
Maria memilih memulung karena perlu uang cepat setiap hari. Ada biaya yang harus ia tanggung yakni menafkahi dua putrinya, Mutiara (10) dan Permata (8). Keduanya masih pelajar tingkat sekolah dasar.
“Tak mengapa aku seperti gembel memulung, asalkan anakku ini kelak berhasil di masa depan. Kalau aku enggak memulung, makan apa nanti anakku dan bagaimana mereka bisa bersekolah. Tetapi jadi pemulung pun mesti hidup jujur,l dan belaku baik,” kata dia.
Katanya lagi, prinsip itu yang selalu dia ajarkan kepada dua anak perempuannya. Agar kelak, kedua buah hatinya itu tumbuh menjadi anak yang jujur dan berintegritas. Didikan kejujuran itu, kata Maria, dia peroleh dari orangtuanya. Ibunya adalah guru, sedangkan bapaknya jaksa.
“Dulu, kehidupanku sangat baik dan mewah, penuh kasih sayang. Karena itu, aku hidup dengan baik. Sekarang, kebaikan dan kejujuran itu yang kuwariskan kepada kedua anakku ini,” sambungnya.
Maria menangis karena ia kini sekarat. Setiap hari hanya bisa tergeletak di sofa, di ruang tamu rumahnya. Ia hanya bisa bergantung pada kedua anaknya. Kedua putrinya itulah yang setia setiap hari merawatnya, walau masih bocah. Mereka berusaha membopong Maria kalau harus ke toilet untuk urusan hajat atau buang air kecil. Kedua bocah ini pula yang memasak, mencuci dan jualan di warung mereka.
Untuk tanggung jawab sebesar itu, baik Mutiara maupun Permata terpaksa sering sekali mengorbankan waktu-waktu belajarnya. Mutiara dan Permata harus selalu siaga mana kala ibunya butuh bantuan.
“Kadang anakku ini sampai tak sempat atau terganggu belajar, karena aku sering meraung kesakitan, entah itu malam, pagi, siang. Sakit sekali kurasa,” terangnya.
Belum lagi, Maria hanya memiliki satu ponsel android. Itulah yang dipakai anaknya untuk belajar secara bergantian. Tetapi mereka lebih sering tidak belajar. Mereka banyak tidak mengerti pelajaran dari sekolah karena proses belajar mengajar secara daring sangat menjenuhkan. “Kami lebih banyak nonton tivi, Tulang. Karena sambil jaga mama, kami juga jualan, jaga warung. Nanti sebentar-sebentar ada pembeli,” kata Mutiara.
Sebagai anak sulung, Mutiara rindu kembali belajar di sekolah, agar bisa mengikuti materi pelajaran dengan baik. Cita-citanya, ingin menjadi guru. Berbeda dengan adiknya, Permata. Si bungsu bertekad ingin menjadi dokter. Ia remuk hati melihat ibunya sakit-sakitan. Kepada ibunya ia selalu berkata, “Mak, carikanlah botot banyak-banyak, biar pudan (bungsu-red) nanti bisa jadi dokter. Kalau hari ini belum bisa ngobati mamak, suatu hari pudan pasti bisa.”
Mendengar impian anaknya itu, Maria makin bersemangat untuk bertahan hidup. Ia ingin lekas sembuh agar bisa kembali memulung. Namun, saat ini, Maria membutuhkan banyak duit untuk membiayai proses penyembuhannya. Ia juga butuh asupan gizi agar lekas kesehatannya pulih.
Namun, sejak Maret 2020, ketika kanker payudaranya meletus, ia tak lagi bisa memulung, tidak lagi punya penghasilan. Ia hanya bisa mengandalkan laba dari usaha warung kelontongnya yang dikelola kedua putrinya itu.
“Dua karetakku nungnga hugadis asa adong parubatanku tikki i di Rumah Sakit Columbia dohot Royal Prima. Nga hugadis angka barangku. Holan kode-kode on nama.– Dua sepeda motorku telah kujual untuk biaya pengobatanku ke rumah sakit. Barang berhargaku juga kujual. Sekarang tinggal warung saja,” ia menjelaskan.
Maria mengatakan, jika tidak ada program belajar dari rumah, bakalan begitu sengsara dirinya. Karena hanya kedua putrinyalah yang bisa merawatnya di rumah, tidak ada orang lain.
Sementara, baik Mutiara maupun Permata masih anak kecil yang kebutuhannya adalah belajar dan bermain. Mereka kehilangan banyak momen berharga selama program Belajar Dari Rumah ini. Selain karena merawat ibu mereka, juga fasilitas belajar serta metode pembelajaran jarak jauh yang menjenuhkan.
“Terus terang, aku ingin mewujudkan cita-cita anakku. Mereka berdualah hidupku. Karena merekalah aku tetap bertahan hidup,” pungkasnya.
Tim Yayasan Peduli Pemulung Sejahtera dipimpin Uba Pasaribu datang menjenguk Maria lalu mendoakannya. Uba juga memberikan motivasi kepada Maria agar tetap kuat dan senantiasa memohon kepada Tuhan. Tak lupa, Uba juga memotivasi Maria dan Permata agar semangat belajar mewujudkan cita-cita. Tak lupa, Uba memberikan uang Rp 500.000 untuk membantu biaya perobatan Maria.
“Saya berharap Pemko Medan peduli dengan nasib kedua anak ini. Mereka perlu dibantu agar bisa belajar dengan baik selama program BDR ini. Apalagi ibu mereka sedang sekarat,” ungkapnya. (MM)