Oleh: Agung Nugroho, Ketua Rekan Indonesia
Bulan Dana Palang Merah Indonesia (PMI) lahir dari semangat gotong royong. Warga diajak berpartisipasi secara sukarela untuk membantu misi kemanusiaan. Namun, di Jakarta 2025, niat mulia itu berubah rupa: solidaritas diganti target setoran.
Dasar hukumnya sebenarnya sederhana. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan mengatur bahwa lembaga sosial boleh menggalang dana. Pemerintah daerah hanya diminta mendukung penyelenggaraan, bukan menjadi penagih. Pasal 6 ayat (1) menyebut, biaya usaha pengumpulan sumbangan tidak boleh melebihi 10 persen dari hasil pengumpulan. Norma itu jelas dimaksudkan untuk biaya teknis: cetak kupon, ongkos transportasi relawan, atau biaya administrasi. Sama sekali tidak menyebut komisi pejabat.
Namun, di tingkat pelaksana, tafsir aturan ini berbelok. Surat resmi dari Kelurahan Baru, Pasar Rebo, Jakarta Timur, tertanggal 22 September 2025, mencatat instruksi tegas: setiap RW dan RT wajib menyetor minimal Rp1 juta per Maplist, paling lambat 31 Oktober 2025. Nama pejabat kelurahan ditunjuk sebagai penerima. Tak ada kata “sukarela”. Yang ada hanya angka target.
Kejadian serupa terjadi di Jakarta Pusat. Sehari setelah insentif RT naik, para ketua RT langsung diminta iuran Rp1 juta untuk Bulan Dana PMI, seperti diberitakan Kompas (22/9/2025). Bagi sebagian pengurus RT, ini terasa seperti pemerasan. “Kalau disebut amal, kenapa ada target dan angka pasti? Itu iuran wajib, bukan donasi,” kata seorang ketua RT.
Dokumen lama Bulan Dana mencatat, sejak awal 1980-an, aparat pemerintah daerah memang dilibatkan dalam pengumpulan sumbangan. Posisi mereka strategis karena punya akses langsung ke masyarakat. Dari situlah tafsir 10 persen mulai berubah fungsi: dari biaya operasional, menjadi semacam “uang administrasi pejabat.” Seorang mantan pengurus PMI Jakarta mengakui, praktik ini bertahan karena tak pernah ada koreksi dari pemerintah daerah. “Selama bertahun-tahun dianggap wajar, padahal tidak ada dasar hukumnya,” katanya.
Kritik keras datang dari organisasi masyarakat sipil. Agung Nugroho, Ketua Umum Rekan Indonesia, menilai penyimpangan Bulan Dana PMI kali ini terlalu telanjang. “Bulan Dana itu sukarela, bukan kewajiban. Kalau setiap RT dan RW dipatok Rp1 juta, itu sudah pemerasan. Apalagi kalau ada tafsir 10 persen untuk jatah pejabat, itu pungli yang dilegalkan,” ujarnya.
Agung mendesak Pemprov DKI segera mengeluarkan edaran resmi yang menegaskan kembali makna PP 29/1980. Selain itu, ia menuntut PMI DKI membuka laporan penggunaan dana secara transparan. “Bulan Dana lahir dari niat mulia, tapi kalau dibiarkan jadi bulan setoran, yang tersisa hanya ironi. Solidaritas rakyat direduksi jadi catatan kas pejabat,” katanya.
Kini publik menunggu langkah tegas. Apakah Pemprov DKI berani meluruskan tafsir sesat ini, atau membiarkan semangat gotong royong terus berubah jadi bisnis rente pejabat lokal?. (Nauli)